Sabtu, 28 November 2015

Kepasrahan Hati

Cahaya bulan malam ini redup. Raganya samar tertutup awan. Bercahaya namun tak bersinar terang. Bentuknya utuh, nyata, tapi seakan rapuh. Seperti kisah klise dalam roman, aku menatap raganya dan melafalkan namamu dalam hatiku. Bertanya, “Bagaimana kabarmu?”, seakan kamu bisa mendengar apa yang aku utarakan dan berharap kamupun sedang melakukan hal yang sama.

“Apa yang kamu lepas, nantinya akan kembali lagi ke kamu.” – Mr. T (Guru Les Bahasa Inggrisku).

Apa benar seperti itu nantinya? Aku tak ingin berharap untuk sesuatu yang aku tidak tahu kepastiannya. Aku ingin meyakininya. Tapi rasa takut akan kecewa, jauh lebih besar membayangiku. Pada akhirnya aku hanya bisa meng-Aamiin-i dan menyerahkan semuanya pada kuasa Tuhan.

Selama 20 tahun aku hidup, aku terlalu banyak mengatur Tuhan. Menuntut, marah, membangkang. Aku lelah. Dan saat ini aku merasa, ini waktunya aku harus mau diatur oleh Tuhan. Oleh agama yang aku anut. Menyesali segala kesalahan yang aku perbuat, mencoba memperbaiki diri dan patuh pada aturannya.

Aku merasa mungkin ini hukuman dari-Nya atas kesalahan yang kita lakukan. Tuhan memisahkan kita, agar kita tidak semakin terjerumus. Mungkin juga Tuhan memisahkan kita, agar kita bisa saling memperbaiki diri untuk hubungan kita yang lebih baik di masa depan. Entah nantinya kita akan kembali atau tidak, tapi aku ingin menjadi seseorang yang tidak seperti terakhir kamu kenal.

Hari ini aku membaca sebuah kutipan, di dalamnya dikatakan bahwa, Perempuan baik – baik tidak akan merebut milik perempuan lain. Aku merasa tertohok. Rasanya kayak digaplok. Berpikir, “Apa iya aku salah satu ‘mereka’?”.

Ingin menangis. Tapi apa yang harus aku tangisi? Kepergianmu? Bahkan ragamu tak pernah aku tahu. Kehilanganmu? Bagaimana bisa, jika memilikimu saja aku tak pernah. Patah hati? Aku tidak mencintaimu. Lebih tepatnya, aku tidak tahu.

Bi, setelah berjalannya waktu, ada kemungkinan kalau aku mencintaimu. Dan kemudian aku berpikir, “Kenapa aku tidak menyadari ini lebih cepat?”, dan aku mungkin akan menyesalinya ketika tahu bahwa aku terlambat. Fakta bahwa kamu berada disisiku dari kejauhan sana, selama lima tahun ini, dan sekarang tidak berada di sisiku lagi, terkadang... tiba – tiba, aku merasa begitu sedih.

That’s my burden to bear.
Your feelings are your own.




Your dear, who calls Batman,

Andini.